Minggu, 20 Maret 2011




FRAMBUSIA





A.    LATAR BELAKANG
Ada dua penyakit kulit yang perlu diwaspadai karena sering diabaikan yaitu Kusta dan Frambusia. Kusta dan frambusia merupakan penyakit kulit menular dan menahun yang mudah disembuhkan apabila ditemukan secara dini. Bila ditemukan sedini mungkin dan diobati dengan baik maka dapat mencegah penderita dari kecacatan tetap dan sembuh dalam waktu 6 bulan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat sangat penting dalam menemukan penderita dan melaporkan ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan.
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastik dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adakah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantong-kantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia. Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control Project Simplified) dan “Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F)”. Namun, oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah


B.     DEFINISI FRAMBUSIA

Framboesia atau Patek ( kamus kedokteran ). Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang). Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang menyebut Frambesia tropica dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Di zaman dulu penyakit ini amat populer karena penderitanya sangat mudah ditemukan di kalangan penduduk. Di Jawa saking populernya telah masuk dalam khasanah bahasa Jawa dengan istilah “ora Patheken”. Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.
Penyakit Frambusia (yaws) pertama kali ditemukan oleh Castellani, pada tahun 1905 yang berasal dari bakteri besar (spirocheta) bentuk spiral dan motil dari famili (spirochaetaceae) dari ordo spirochaetales yang terdiri dari 3 genus yang phatogen pada manusia (treponema, borelia dan leptospira). Spirohaeta mempunyai ciri yang sama dengan pallidum yaitu panjang, langsing”helically coiled”, bentuk spiral seperti pembuka botol dan basil gram negatif. Treponema memiliki kulit luar yang disebut glikosaminoglikan, di dalam kulit memiliki peptidoglikan yang  berperan mempertahankan integritas struktur organisme .
Genus treponema terdiri dari Treponema pallidum subspesies pallidum yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum subspecies perteneu yang menyebabkan frambusia (yaws/puru/pian), treponema pallidum subspecies endemicum yang menyebabkan sifilis (disebut bejel) dan treponema carateum yang menyebabkan pinta.


C.     EPIDEMIOLOGI FRAMBUSIA
Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim.
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus  per 100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu  pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan.
1.      Agent
Penyebab penyakit frambusia adalahTreponema pallidum, subspesies pertenue dari spirochaeta. Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
a.       Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan penjamu.
b.      Patogenesitas dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c.       Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d.      Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh penjamu.
e.       Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan yang lainnya.
f.       Antigenisitas yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di dalam sang penjamu.
2.      Host
Manusia dan mungkin Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit ini. Ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki.
3.      Environment
·         Lingkungan Fisik:
Di daerah tropis di pedesaan yang panas dan lembab. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
·         Lingkungan social ekonomi:
Kepadatan penduduk, kurangnya persediaan air bersih, dan keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk, baik perorangan maupun pemukiman.
Kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit Framboesia.
Pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita.
4.      Cara Penularan
Penularan  penyakit  frambusia  dapat  terjadi  secara langsung maupun tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :
a.       Penularan secara langsung (direct contact).
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga terjadi  dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput lendir.
b.      Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.  Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan:
1.      Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
2.      Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005). Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).
·         Masa Inkubasi
Dari 2 hingga 3 minggu
·         Masa Penularan
Masa penularan bervariasi dan dapat memanjang yang muncul secara intermiten selama beberapa tahun barupa lesi basah. Bakteri penyebab infeksi biasanya sudah tidak ditemukan pada lesi destruktif stadium akhir.
·         Kerentanan dan Kekebalan
Tidak ada bukti adanya kekebalan alamiah atau adanya kekebalan pada ras tertentu. Infeksi menyebabkan timbulnya kekebalan terhadap reinfeksi dan dapat melindungi orang tersebut terhadap infeksi dari kuman golongan treponema lain yang patogen.
D.    TANDA DAN GEJALA KLINIS FRAMBUSIA
a)      Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini penederita belum menunujukan gejala penyakit. Namun, tidak menutup kemungkinan si penyakit telah ada dalam tubuh si penderita.
Tahap Prepatogenesis :
1.      Tahap Inkubasi
Tahap inkubasi Framboesia adalah dari 2 sampai 3 minggu.
2.      Tahap Dini
Terbentuknya benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
3.      Tahap Lanjut
Pada gejala lanjut dapat mengenai telapak tangan, telapak kaki, sendi dan tulang, sehingga mengalami kecacatan. Kelainan pada kulit ini biasanya kering, kecuali jika disertai infeksi (borok).
b)      Tahap Pasca Patogenesis
Pada tahap ini perjalanan akhir penyakit hanya mempunyai tiga kemungkinan yaitu :
1.      Sembuh dengan cacat penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita
2.      Karier tubuh penderita pulih kembali, namun bibit penyakit masih tetap ada dalam tubuh.
3.      Penyakit tetap berlangsung secara kronik yang jika diobati akan menimbulkan cacat kepada si penderita.


E.     UPAYA PENCEGAHAN FRAMBUSIA
1.       Upaya Pencegahan (tahap Prepatogenesis)
Walaupun penyebab infeksi sulit dibedakan dengan teknik yang ada pada saat ini. Begitu pula perbedaan gejala-gejala klinis dari penyakit tersebut sulit ditemukan. Dengan demikian membedakan penyakit treponematosisi satu sama lainnya hanya didasarkan pada gambaran epidemiologis dan faktor linkungan saja. Hal-hal yang diuraikan pada butir-butir berikut ini dapat dipergunakan untuk manangani penyakit frambusia dan penyakit golongan treponematosis non venereal lainnya.
a)      Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat pertama dapat ditujukan pada factor penyebab, lingkungan serta factor penjamu.
1)      Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi, yang bertujuan untuk menghilangkan mikro-organisme penyebab penyakit, penyemprotan/insektisida dalam rangka menurunkan dan menghilangkan sumebr penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutuskan rantai penularan. Selain itu usaha untuk mengurangi atau menghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi atau menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
2)      Mengatasi atau modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis seperti pemberantasan serangga dan binatang pengerat, serta peningkatan lingkungan sosial seperti kepadatan rumah tangga, hubungan antar individu dan kehidupan sosial masayarakat.
3)      Meningkatkan daya tahan pejamu yang meliputi perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan khusus lainnya, peningkatan status psikologis, persiapan perkawinan serta usaha menghindari pengaruh factor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan kualitas gizi, serta olahraga kesehatan.
b)      Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)
Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit untuk lebih lanjut serta mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi.
1)      Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan usaha surveillance penyakit tertentu, pemeriksaan berjala serta pemeriksaan kelompok tertentu ( calon pegawai, ABRI, Mahasiswa, dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perawatan yang efektif.
2)      Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis Framboesia.
c)       Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)
Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit Framboesia dengan tujuan mencegah jangan sampai cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya penyakit tersebut atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Berbagai usaha dalam mencegah proses penyakit lebih lanjut agar jangan terjadi komplikasi dan lain sebagainya.
Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan penyakit Framboesia. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian funsi fisik, psikologis, sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis, rehabilitasi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial.

2.       Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan Masyarakat (tahap Patogenesis).
a)      Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit) membedakan treponematosis venereal & non venereal dengan memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi penanggulangan pada periode selanjutnya.
b)      Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
c)       Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
d)      Karantina: Tidak perlu.
e)      Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu.
f)       Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber infeksi.
g)      Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk penderita usia dibawah 10 tahun.

3.       Upaya Penanggulan Wabah (Tahap Pasca Patogenesis)
Dengan melakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah:
a)      Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei lapangan.
b)      Pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan kelompok masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif.
c)       Melakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.

4.       Implikasi bencana: Tidak pernah terjadi penularan pada situasi bencana tetapi potensi
ini tetap ada pada kelompok pengungsi didaerah endemis tanpa fasilitas sanitasi yang
memadai.

5.       Tindakan Internasional: Untuk melindungi suatu negara dari risiko timbulnya
reinfeksi yang sedang melakukan program pengobatan massal aktif untuk masyarakat,
maka negara tetangga di dekat daerah endemis harus melakukan penelitian untuk
menemukan cara penanganan yang cocok untuk penyakit frambusia. Terhadap
penderita yang pindah melewati perbatasan negara, perlu dilakukan pengawasan manfaatkan pusat kerjasama WHO.

F.      PROGRAM PEMBERANTASAN
Strategi Pemberantasan framboesia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
1.       Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan penderita.
2.       Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3.       Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
4.       Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.
5.       Pengobatan framboesia dilakukan dengan memberikan antibiotika. Antibiotika golongan penicillin merupakan obat pilihan pertama. Bila penderita alergi terhadap penicillin, dapat diberikan antibiotika tetrasiklin, eritromisin atau doksisiklin.

ERGONOMI




A.    DEFINISI ERGONOMI
Ergonomi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani. Ergonomi sendiri terdiri dari dua suku kata, yaitu: ‘ergon’ yang berarti ‘kerja’ dan ‘nomos’ yang berarti ‘hukum atau aturan’. Dari kedua suku kata tersebut, dapat ditarik kesimpulan bawa ergonomi adalah “hukum atau aturan tentang kerja atau yang berhubungan dengan kerja”.
Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan dan elemen-elemen lain dalam suatu sistem dan pekerjaan yang mengaplikasikan teori, prinsip, data dan metode untuk merancang suatu sistem yang optimal, dilihat dari sisi manusia dan kinerjanya. Ergonomi memberikan sumbangan untuk rancangan dan evaluasi tugas, pekerjaan, produk, lingkungan dan sistem kerja, agar dapat digunakan secara harmonis sesuai dengan kebutuhan, kempuan dan keterbatasan manusia.
Definisi ergonomi dapat dilakukan dengan cara menjabarkannya dalam fokus, tujuan dan pendekatan mengenai ergonomi (Mc Coinick 1993) dimana dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut:
1.      Secara focus
Ergonomi menfokuskan diri pada manusia dan interaksinya dengan produk, peralatan, fasilitas, prosedur dan lingkungan dimana sehari-hari manusia hidup dan bekerja.
2.      Secara tujuan
Tujuan ergonomi ada dua hal, yaitu peningkatan efektifitas dan efisiensi kerja serta peningkatan nilai-nilai kemanusiaan, seperti peningkatan keselamatan kerja, pengurangan rasa lelah dan sebagainya.
3.      Secara pendekatan
Pendekatan ergonomi adalah aplikasi informasi mengenai keterbatasan-keterbatasan manusia, kemampuan, karakteristik tingkah laku dan motivasi untuk merancang prosedur dan lingkungan tempat aktivitas manusia tersebut sehari-hari.
Berdasarkan ketiga pendekatan tersebut diatas, definisi ergonomi dapat terangkumkan dalam definisi yang dikemukakan Chapanis (1985), yaitu ergonomi adalah ilmu untuk menggali dan mengaplikasikan informasi-informasi mengenai perilaku manusia, kemampuan, keterbatasan dan karakteristik manusia lainnya untuk merancang peralatan, mesin, sistem, pekerjaan dan lingkungan untuk meningkatkan produktivitas, keselamatan, kenyamanan dan efektifitas pekerjaan manusia.
Definisi mengenai ergonomi juga datang dari Iftikar Z yang mendefinisikan ergonomi sebagai suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem kerja sehingga orang dapat hidup dan bekerja pada sistem itu dengan baik, yaitu mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman dan nyaman.

B.     SEJARAH ERGONOMI
Istilah ergonomi mulai dicetuskan pada tahun 1949, akan tetapi aktivitas yang berkenaan dengannya mulai telah bermunculan beberapa tahun sebelumnya. Berikut adalah kejadian-kejadian pentingnya:
1.     C.T. Thackrah, England, 1831.
Thackrah adalah seorang dokter dari Inggris yang meneruskan pekerjaan dari seorang Italia bernama Ramazzini. Pada saat itu Thackrah mengamati sorang penjahit yang bekerja dengan posisi dan dimensi kursi meja yang kurang sesuai secara antropometri, serta pencahayaan yang tidak ergonomis sehingga mengakibatkan membungkuknya badan dan iritasi penglihatan.
2.     F.W. Taylor, USA, 1898.
Ia adalah seorang insinyur Amerika yang menerapkan metode ilmiah untuk menentukan cara yang terbaik dalam melakukan suatu pekerjaan. Beberapa metodenya merupakan konsep ergonomic dan manajeman modern.
3.     F.B. Gilbreth, USA, 1911.
Gilbreth mengamati dan mengoptimasi metode kerja dalam hal ini lebih mendetail dalam analisa gerakan. Ia menunjukkan bagaimana postur membungkuk dapat diatasi dengan mendesain suatu system meja yang dapat diatur naik-turun.
4.     Industrial Fatigue Research Body, England, 1918.
Badan ini didirikan sebagai penyelesaian masalah yang terjadi di pabrik amunisi pada Perang Dunia Pertama. Mereka menunjukkan bagaimana output setiap ahrinya meningkat dengan jam kerja yang per-harinya menurun . disamping itu mereka juga mengamati waktu siklus yang optimum untuk system kerja berulang dan menyarankan adanya variasi dan rotasi pekerjaan.
5.     E. Mayo dan teman-temannya, USA 1933.
Ia adalah seorang warga Negara Australia, memulai beberapa studinya di suatu Perusahaan Listrik yaitu Western Electric Company, Hawthorne , Chicago. Tujuannya adalah mengkuantifikasi pengaruh dari variabel fisik seperti misalnya pencahayaan dan lamanya waktu istirahat terhadap factor efisiensi dari para operator kerja pada unit perakitan.
6.     Perang Dunia Kedua, England dan USA.
Masalah yang adaa saat itu adalah penempatan dan identifikasi untuk pengendali pesawat terbang, efekrivitas alat peraga, handel pembuka, ketidaknyamanan karena terlalu panas atau terlalu dingin, desain pakaian untuk suasana yang terlalu dingin dan pengaruhnya pada kinerja operator.
7.     Pembentukan Kelompok Ergonomi.
Pembentukan masyarakat peneliti ergonomic (the Ergonomics Research Society) di England pada tahun 1949 melibatkan beberapa professional yang telah banyak berkecimpung dalam bidang ini. Hal ini menghasilkan jurnal (majalah ilmiah) pertama dalam bidang ERGONOMI pada November 1957. Perkumpulan Ergonomi Internasional (The International Ergonomics Association) terbentuk pada tahun 1957, dan The Human Factors Society di Amerika pada tahun yang sama. Disamping itu patut diketahui bahwa Konferensi Ergonomi Australia yang pertama diselenggarakan pada tahun 1964, dan hal ini mencetuskan terbentuknya masyarakat Ergonomi Australia dan New Zealand (The Ergonomics Society of Australia and New Zealand).

C.     PERKEMBANGAN ERGONOMI
Perkembang ergonomi dipopulerkan pertama kali pada tahun 1949 sebagai judul buku yang dikarang oleh Prof. Murrel. Sedangkan kata ergonomi itu sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu ergon (kerja) dan nomos (aturan/prinsip/kaidah). Istilah ergonomi digunakan secara luas di Eropa. Di Amerika Serikat dikenal istilah human factor atau human engineering. Kedua istilah tersebut (ergonomic dan human factor) hanya berbeda pada penekanannya. Intinya kedua kata tersebut sama-sama menekankan pada performansi dan perilaku manusia. Menurut Hawkins (1987), untuk mencapai tujuan praktisnya, keduanya dapat digunakan sebagai referensi untuk teknologi yang sama.
Ergonomi telah menjadi bagian dari perkembangan budaya manusia sejak 4000 tahun yang lalu (Dan Mac Leod, 1995). Perkembangan ilmu ergonomi dimulai saat manusia merancang benda-benda sederhana, seperti batu untuk membantu tangan dalam melakukan pekerjaannya, sampai dilakukannya perbaikan atau perubahan pada alat bantu tersebut untuk memudahkan penggunanya. Pada awalnya perkembangan tersebut masih tidak teratur dan tidak terarah, bahkan kadang-kadang terjadi secara kebetulan.
Perkembangan ergonomi modern dimulai kurang lebih seratus tahun yang lalu pada saat Taylor (1880-an) dan Gilberth (1890-an) secara terpisah melakukan studi tentang waktu dan gerakan. Penggunaan ergonomi secara nyata dimulai pada Perang Dunia I untuk mengoptimasikan interaksi antara produk dengan manusia. Pada tahun 1924 sampai 1930 Hawthorne Works of Wertern Electric (Amerika) melakukan suatu percobaan tentang ergonomi yang selanjutnya dikenal dengan “Hawthorne Effects” (Efek Hawthorne). Hasil percobaan ini memberikan konsep baru tentang motivasi ditempat kerja dan menunjukan hubungan fisik dan langsung antara manusia dan mesin.
Kemajuan ergonomi semakin terasa setelah Perang Dunia II dengan adanya bukti nyata bahwa penggunaan peralatan yang sesuai dapat meningkatkan kemauan manusia untuk bekerja lebih efektif. Hal tersebut banyak dilakukan pada perusahaan-perusahaan senjata perang.

D.    PENGELOMPOKKAN BIDANG KAJIAN ERGONOMI
Pengelompokkan bidang kajian ergonomi  yang secara lengkap dikelompokkan oleh Dr. Ir. Iftikar Z. Sutalaksana (1979) sebagai berikut:
1.      Faal Kerja, yaitu bidang kajian ergonomi yang meneliti energi manusia yang dikeluarkan dalam suatu pekerjaan. Tujuan dan bidang kajian ini adalah untuk perancangan sistem kerja yang dapat meminimasi konsumsi energi yang dikeluarkan saat bekerja.
2.      Antropometri, yaitu bidang kajian ergonomi yang berhubungan dengan pengukuran dimensi tubuh manusia untuk digunakan dalam perancangan peralatan dan fasilitas sehingga sesuai dengan pemakainya.
3.      Biomekanika yaitu bidang kajian ergonomi yang berhubungan dengan mekanisme tubuh dalam melakukan suatu pekerjaan, misalnya keterlibatan otot manusia dalam bekerja dan sebagainya.
4.      Penginderaan, yaitu bidang kajian ergonomi yang erat kaitannya dengan masalah penginderaan manusia, baik indera penglihatan, penciuman, perasa dan sebagainya.
5.      Psikologi kerja, yaitu bidang kajian ergonomi yang berkaitan dengan efek psikologis dan suatu pekerjaan terhadap pekerjanya, misalnya terjadinya stres dan lain sebagainya.

Pada prakteknya, dalam mengevaluasi suatu sistem kerja secara ergonomi, kelima bidang kajian tersebut digunakan secara sinergis sehingga didapatkan suatu solusi yang optimal, sehingga seluruh bidang kajian ergonomi adalah suatu sistem terintegrasi yang semata-mata ditujukan untuk perbaikan kondisi manusia pekerjanya.

E.     SPESIALISASI BIDANG ERGONOMI
Spesialisasi bidang ergonomi meliputi : ergonomi fisik, ergonomi kognitif, ergonomi sosial, ergonomi organisasi, ergonomi lingkungan dan faktor lain yang sesuai. Evaluasi ergonomi merupakan studi tentang penerapan ergonomi dalam suatu sistem kerja yang bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan penerapan ergonomi, sehingga didapatkan suatu rancangan keergonomikan yang terbaik.
1.      ergonomi fisik : berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, anthropometri, karakteristik fisiolgi dan biomekanika yang berhubungan dnegan aktifitas fisik. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi fisik antara lain : postur kerja, pemindahan material, gerakan berulan-ulang, MSD, tata letak tempat kerja, keselamatan dan kesehatan.
2.      ergonomi kognitif : berkaitan dengan proses mental manusia, termasuk di dalamnya ; persepsi, ingatan, dan reaksi, sebagai akibat dari interaksi manusia terhadap pemakaian elemen sistem. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi kognitif antara lain ; beban kerja, pengambilan keputusan, performance, human-computer interaction, keandalan manusia, dan stres kerja.
3.      ergonomi organisasi : berkaitan dengan optimasi sistem sosioleknik, termasuk sturktur organisasi, kebijakan dan proses. Topik-topik yang relevan dalam ergonomi organisasi antara lain ; komunikasi, MSDM, perancangan kerja, perancangan waktu kerja, timwork, perancangan partisipasi, komunitas ergonomi, cultur organisasi, organisasi virtual, dll.
4.      ergonomi lingkungan : berkaitan dengan pencahayaan, temperatur, kebisingan, dan getaran. Topik-topik yang relevan dengan ergonomi lingkungan antara lain ; perancangan ruang kerja, sistem akustik,dll.

F.      KASUS ERGONOMI
1.      Dalam pengukuran performansi atlet. Pengukuran jangkauan ruang yang dibutuhkan saat kerja. Contohnya: jangkauan dari gerakan tangan dan kaki efektif pada saat bekerja, yang dilakukan dengan berdiri atu duduk.
2.      Pengukuran variabilitas kerja. Contohnya: analisis kinematika dan kemampuan jari-jari tangan dari seseorang juru ketik atau operator komputer.
3.      Antropometri dan Aplikasinya dalam Perancangan Fasilitas Kerja
Anthropometri secara luas akan digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan ergonomis dalam memerlukan interaksi manusia.
4.       Kasus bekerja sambil duduk: Seorang pekerja yang setiap hari menggunakan komputer dalam bekerja dengan posisi yang tidak nyaman, maka sering kali ia merasakan keluhan bahwa tubuhnya sering mengalami rasa sakit/nyeri, terutama pada bagian bahu, pergelangan tangan, dan pinggang.
5.      Kasus manual material handling: Kuli panggul di pasar sering sekali mengalami penyakit herniadan juga low back pain akibat mengangkut beban di luar recommended weighting limit (RWL).
6.       Kasus information ergonomic atau kognitive ergonomic: Operator reaktor sulit untuk membedakan beraneka macam informasi yang disampaikan oleh display terutama pada saat situasi darurat/emergency. Hal ini disebabkan karena informasi tersebut sulit dimengerti oleh operator tersebut. Kejadian yang serupa sering juga dialami oleh pilot, dimana harus menghadapi banyak display pada waktu yang bersamaan.


REFERENSI :
Dias. 2009. Definisi dan ruang lingkup ergonomi. http://dias-rw.blogspot.com/2009/01/difinisi-dan-ruang-lingkup.html . di akses tanggal 9 maret 2011.
Ivan, Havosan. 2008. Ergonomi. http://ehsindonesia.edublogs.org/2008/12/24/ergonomi/ . di akses tanggal 9 maret 2011.
Sutalaksana. 2010. Pengertian ergonomi. http://sobatbaru.blogspot.com/2010/03/pengertian-ergonomi.html . di akses tanggal 9 maret 2011.
Wignjosoebroto, Sritomo. 2003. Ergonomi studi gerak dan waktu. Surabaya : Guna Widya